Ada seorang ustadz
yang sering berceramah dikota pulang kedesanya. Ia memang sudah sering mengisi
pengajian di hotel – hotel dan masjid di kota besar. Tentu saja ia membawa oleh
– oleh uang yang cukup untuk anak isterinya. Tetapi ia tidak lupa kepada
manusia – manusia yang hidup dikanan kirinya. Ia selalu ,membagi – bagikan
sebagian uangnya kepada fakir miskin, baik itu keluarganya maupun tetangganya.
Pada suatu malam, ia
mengisi aacara pengajian didesa sebelah. Jamaahnya kebanyakan terdiri dari
orang – orang dengan ekonomi lemah.
Ketika ia akan
pulang, takmir masjid menyampaikan tanda terima kasih berupa amplop berisi
uang. Ustadz pun menolak keras.
“ sang takmir
masjid pun berusaha memohon agar uang
diterima oleh pak ustadz, nanti jamaah tersinggung karna uang ini amat sedikit.
Ini uang halal. Sebab jamaah kita tak ada kesempatan untuk korupsi . mereka
adalah penyabit rumput, penyadap nira siwalan, buruh harian, tukang batu,
petani kecil dan lain – lain. Uang ini adalah hasil kucuran keringat meraka.
Hargailah sebagai ikatan persaudaraan sesame muslim”
Hati ustadz gemetar
mendengar ucapan sang takmir itu. Ia tak kuasa menolak. Terpaksa ia terima
amplop dengan penuh rasa haru. Kemudian ia pulang dengan perasaan yang lain
dari yang lain.
Semalam penuh ia tak
bias tidur memikirkan pemberian orang-orang kecil itu. Keesokan harinya ia
pergi kepasar ,membeli baju batik sederhana dengan uang pemberian sederhana
tersebut.
Sejak itu, tiap akan
mengisi ceramah di mana-mana, baju itulah yang ia minta dipersiapkan kepada
isterinya. Sampai pada suatu ketika isterinya bertanya:
“
kenapa baju ini yang paling sering engkau pakai, padahal kainnya tidak bagus
dan coraknya biasa-biasa aja?’’
“baju ini sangat
istimewa bagiku. Ini merupakan pemberian fakir miskin desa sebelah. Bila aku
memakai baju ini, tubuhku bagaikan berselimut kasih saying mereka yang tercelup
sibgha Allah. Lalu aku ingin senyumku
menjadi bagian dari senyum mereka dan aku ingin air mataku senapas dengan air
mata mereka.”